Apa yang Kamu Anggap Benar Belum Tentu Orang Lain Menganggapnya Benar, Salah Satu Skenario Paling Ampuh Menghadapi Pertengkaran

Gambar : Illustrasi Pertengkaran dari Vera Arsic dalam pexels.com

Berjam-jam saya berpikir mengenai topik ini. Bagi saya topik ini wajar-wajar saja dan tidak jauh beda dari tulisan opini receh biasa. Akan tetapi entah kenapa akhir-akhir ini saya terlalu banyak berpikir tentang apa yang akan saya tulis. Paling tidak setelah ada beberapa orang yang memutuskan untuk menghide saya, memblok saya, atau berkata-kata dengan perkataan jutek dan yant pasti berbeda dari biasanya. Saya bebaskan itu hak mereka untuk melakukan itu. Tenang saja, saya selalu berusaha berpikir positif dari semua tindakan itu.

Saya sebenarnya tidak peduli. Hingga pada akhirnya terdapat satu masa saat saya berbincang dengan salah satu teman dan berkata yakan lo tulis gas”. Lalu kami sempat berdebat sedikit.

(tenang saja kita sudah saling paham jadi tidak sampai terjadi permusuhan)

Berdebat.. berdebat.. berdebat hingga pada akhirnya topik ini muncul Kembali di kepala saya. Iya muncul Kembali karena seingat saya, saya pernah menulis ini sekitar beberapa tahun yang lalu. Entah Dimana pula tempat saya menulis tapi benar saya menulis ini.

Kadang saya bertanya-tanya “Harus seperti apakah diri saya?” atau “Harus seperti apakah diri kita?” walau kadang saya mencoba untuk tidak memikirkan itu. Kenapa? Karena saya tidak ingin kehilangan diri saya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah saya perlu mengikuti apa yang orang lain katakan?” atau “Apakah orang lain itu benar?” atau sesederhana “Apakah saya salah?” terus berputar dalam pikiran saya. Jujur pertanyaan seperti itu tidak ada habisnya. Saya yakin kita semua pernah berada diantara A dan B yang sedang konflik. Andai kita melihat antara dua sudut pandaung, antara A dan B tidak ada yang salah. Terus bagaimana solusinya kalau tidak ada yang salah? Biasanya sih bakal saling bertengkar dalam waktu yang lama. Kenapa bisa seperti itu?

Jawabannya ada di paragraph selanjutnya.

Jawaban ini saya dapat dari perkelanaan dan perenungan yang dalam. Saya yakin andai saya ceritakan satu per satu sudah cukup untuk menjadikannya satu buku. Satu buku yang sedikit tebal dengan pembahasan yang detail dan beberapa kasus yang mungkin terjadi. Akan tetapi tenang saja, saya tidak akan memaksamu berpikir terlalu dalam saat ini. Saya hanya ingin kamu, kita, dan semuanya sedikit melihat ke dalam perkelanaan dan perenungan ini. Jawabannya adalah tidak ada yang merasa salah. Tunggu.. tunggu.. tunggu kenapa bisa?

Coba saya tanya. berapa kali kamu membaca buku sejarah tentang peperangan? Coba kamu simpulkan apa penyebabnya? Penyebabnya karena antara dua pihak tersebut merasa benar. Jadi, jalan satu-satunya yang ditempuh adalah berperang. Sebenarnya saya memiliki beberapa skenario untuk menyelesaikannya tetapi saya akan menyebutkan salah satu saja. Sisa skenario biar waktu yang menentukan akan saya publish atau tidak.

Bayangkan A dan B saling mengalah. Okelah sesederhana itu tapi ingat kembali, mereka itu manusia. Mereka memiliki akal, pikiran, perasaan, dan fisik. Sudah pasti ada kemungkinan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan entah itu dari A atau dari B. Contoh, setelah mereka saling mengalah si A menghindari pintu atau lorong yang akan dilewati si B. Jadi kontak interaksi akan sedikit berkurang. Saya harap B lebih bijak menyiakpinya. Saya harap B tidak menyalahkan A. Tidak apa-apa si A menghindarinya. Beri waktu agar A dapat sedikit berpikir. Selanjutnya sedikit demi sedikit ciptakan interaksi. Awal-awal sedikit tidak apa-apa biarkan mulai terbiasa. Ini sedikit rumit tapi ini cara yang kerap saya lakukan dan sejauh ini, ini cara yang lebih baik. Ketika terjadi permusuhan Kembali ulangi cara yang sama.

Saya kira, saya sudah terlalu banyak menulis kali ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Selamat membaca.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top