
Perkotaan dan pedesaan merupakan dua wilayah yang tidak dapat dipisahkan, baik dari segi fungsional maupun dari segi regionalnya. Wilayah perkotaan adalah tempat asal mula pembangunan, di mana wilayah pedesaan cenderung mengikuti dan meniru perkembangan yang terjadi di perkotaan (Yani, 2017). Namun, hingga saat ini, pembangunan di negara berkembang, khususnya Indonesia, masih menunjukkan adanya ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan (Hidayat, 2020). Tidak meratanya pembangunan antar daerah, baik dari sarana maupun prasarana mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar wilayah. Pedesaan mengalami eksklusi yang lebih besar karena fokus pembangunan hanya pada wilayah perkotaan, sehingga menggambarkan pembangunan yang lebih memprioritaskan wilayah perkotaan dibandingkan pedesaan (Tambusay, 2024). Fenomena ini dikenal dengan istilah urban bias atau bias perkotaan. Masalah yang terjadi di kawasan pedesaan sangat terkait dengan aktivitas yang terjadi di kawasan perkotaan. Pedesaan sering dipandang sebagai wilayah yang lekat dengan keterbelakangan, terutama dalam hal kemiskinan. Kondisi infrastruktur yang buruk, layanan transportasi yang tidak memadai, pendidikan yang tidak merata, hingga kemiskinan yang sulit diatasi menjadi masalah utama. Pandangan masyarakat perkotaan terhadap penduduk desa sangat mempengaruhi upaya berbagai pihak dalam mengatasi permasalahan kemunduran di pedesaan (Yani, 2017).
Di negara berkembang, fenomena urban bias hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Cendekiawan, birokrat, orang asing, dan wartawan adalah kelompok yang memiliki hubungan erat dengan upaya pemecahan masalah keterbelakangan masyarakat pedesaan (Susiati, 2022). Pendapat dari kelompok tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap pandangan dan solusi yang akan diajukan untuk mengatasi masalah di wilayah pedesaan. Terdapat banyak prasangka yang menghalangi hubungan antara kemiskinan di desa secara umum, dan kemiskinan yang parah secara khusus (Yani, 2017). Pengetahuan mengenai kondisi wilayah pedesaan sering kali diperoleh secara terbatas dan kurang mendalam oleh para pelaku yang cenderung berorientasi pada perkotaan, sehingga menimbulkan penilaian yang tidak akurat terhadap daerah pedesaan (Susiati, 2022). Lipton (1991) menyebutkan bahwa penilaian yang bias terhadap wilayah pedesaan disebabkan oleh ketidakakuratan dalam menilai wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena empat alasan, yaitu para pengamat tidak dapat membedakan dengan jelas antara wilayah pedesaan yang dekat dengan kota, daerah pinggiran, taman, dan pabrik desa.


