Secara lebih dalam, fenomena urbanisasi dapat diartikan sebagai proses pengkotaan yang ditandai dengan bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan. Data dari BPS menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kota yang signifikan, di mana dalam 38 tahun terakhir jumlah kota otonom telah berkembang dua kali lipat. Fenomena urbanisasi atau berkurangnya jumlah desa akibat pengembangan kota berlangsung dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, yang mencerminkan adanya pembangunan yang berorientasi pada perkotaan. Dari total 75.410 desa di Indonesia, sebanyak 24.716 desa telah mengalami proses pengkotaan dan degradasi lahan pertanian (Hidayat, 2020).
Lahan pertanian yang merupakan ciri khas fisik desa terus berkurang hingga 100.000 hektar per tahun. Penyusutan lahan pertanian ini disebabkan oleh tekanan besar dari industrialisasi, yang salah satunya dipicu oleh masuknya investasi asing maupun domestik. Jika kondisi ini berlanjut tanpa adanya kebijakan pembangunan yang mendukung masyarakat dan melindungi eksistensi desa, maka potensi sumber daya alam, pangan, dan energi akan terancam. Pesatnya urbanisasi, yang dalam hal ini berarti migrasi, menimbulkan kerugian baik bagi desa maupun kota. Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah penduduk kota meningkat hampir 50%, sementara setengah dari penduduk desa kini beralih menjadi penduduk kota. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2010, penduduk kota mencapai 47,9%, dan diprediksi pada tahun 2025, jumlahnya akan meningkat menjadi 68% (BPS, 2013).
Peningkatan urbanisasi menyebabkan kemiskinan terpusat di kota, namun hal ini terjadi karena masyarakat desa melihat kota sebagai tempat yang mewakili harapan mereka dan sebagai salah satu cara untuk mengubah stratifikasi sosial demi keluar dari kemiskinan. Sementara itu, di desa, perpindahan penduduk ke kota menyebabkan berkurangnya tenaga kerja, yang berakibat pada terbengkalainya potensi sumber daya alam desa. Penurunan jumlah penduduk dan desa juga membawa dampak negatif berupa hilangnya keseimbangan wilayah, sehingga kota sebagai pusat pertumbuhan kehilangan daya dukungnya (Hidayat, 2020).
Kondisi di wilayah perkotaan yang menghadapi fenomena urbanisasi yang tidak terkendali akan menimbulkan masalah baru, seperti meningkatnya penyimpangan perilaku akibat tingginya angka pengangguran, kemiskinan, berkembangnya kawasan kumuh, dan sebagainya. Oleh karena itu, urbanisasi dapat dilihat sebagai indikator untuk mengukur tingkat perkembangan kota, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Dengan demikian, kita dapat lebih memahami bentuk urbanisasi dan dampaknya terhadap kehidupan di kota. Seiring dengan meningkatnya mobilitas penduduk yang pesat, kondisi ini dapat menyebabkan degradasi kota, sehingga diperlukan upaya untuk menjaga kelestarian wilayah pedesaan. Tantangan-tantangan ini mengarah pada pembangunan yang seharusnya memperhatikan aspek kewilayahan, karena selama ini pembangunan yang cenderung berfokus pada perkotaan membawa dampak negatif, yakni ketimpangan dalam hubungan rural-urban yang tercermin dalam fenomena backwash effect (Susiati, 2022).


