Apakah Merantau merupakan Pilihan yang Baik?
Mari kita telusuri dari jumlah migrasi yang terjadi. Badan Pusat Statistik melalui Sensus Penduduk LongForm 2020 atau lebih mudahnya disingkat SPLF 2020 menghasilkan data yang cukup jelas. Selamat bagi Jawa Tengah yang memenangkan nominasi provinsi dengan jumlah perantau terbesar, yaitu sebanyak 5.996.506 jiwa, dengan 51% nya adalah laki-laki. Mantap jiwa, bukan? Jika kita bayangkan secara kasar saja, dapat tergambar betapa sepinya wilayah-wilayah di Jawa Tengah (kecuali kota-kota besar) serta kondisi fasilitas yang “gitu-gitu aja”, tidak ada perkembangan yang signifikan karena jumlah pengguna yang sedikit.
Apakah Jawa Tengah menjadi kesepian ketika ditinggal merantau? Kasus yang terjadi di Desa Grabag, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo dapat sedikit memberikan gambaran betapa sunyi dan tenangnya pedesaan karena dihuni oleh anak-anak dan orang tua. Putra putri mereka yang sudah remaja, memilih berkuliah atau mencari kerja di luar Purworejo karena keterbatasan sarana Universitas yang bagus dan upah kerja yang kecil, hanya 2,65 juta. Bayangkan, dengan besaran gaji tersebut digunakan untuk menghidupi anak, istri, atau orang tua, jika ini terjadi pada anda, apakah terpikirkan untuk membeli Kijang Innova secara cash? Penulis pun jika disuruh mencicil, juga akan menolak.
Fakta lainnya, di perantauan dengan gaji yang besar, belum tentu dapat hidup layak. Wilayah yang bertumbuh dengan baik, akan berdampak pada peningkatan biaya hidup. Gaji yang besar belum tentu menjamin dapat menabung banyak dan konsisten. Terlebih, Industri manufaktur saat ini menyerap tenaga kerja dengan sistem kontrak 6 bulanan atau tahunan, dengan maksimal perpanjangan kontrak rata-rata 3 tahun. Setelah itu, perusahaan akan menyerap tenaga kerja baru. Pada akhirnya, perantau yang mengalami habis kontrak dihadapkan pilihan yang menantang : menetap di perantauan dengan sisa uang yang ada, atau pulang ke kampung halaman menjadi buruh lepas atau mengolah pertanian warisan orang tuanya dengan pendapatan seadanya.
Jika diasumsikan, wilayah yang ditinggalkan dapat mengembangkan lahan-lahan kosongnya untuk menanam modal industri, sebagai solusi penyerapan tenaga kerja tanpa meninggalkan wilayahnya. Permasalahannya, aksesibilitas yang kurang bagus akan meningkatkan biaya produksi dan distribusi, sehingga produk yang dihasilkan akan semakin mahal harga jualnya. Tentu hal ini tidak menarik bagi investor, terlebih harus menggaji dengan layak karyawan yang berjumlah ratusan atau ribuan, namun pendapatan perusahaan tidak menguntungkan. Jedwab (2015) menggambarkan bahwa kawasan pedesaan seakan-akan tidak memiliki kekuatan untuk menahan penduduknya untuk bermigrasi menuju wilayah perkotaan dengan jaminan kehidupan yang lebih baik, pada akhirnya masyarakat yang bertahan adalah masyarakat yang terbatas perekonomian atau pendidikan.


