Nasib Kampung yang Ditinggalkan
Oke, mari kita beralih dari kegiatan liburan yang fancy itu. Kembali ke topik dimana wilayah yang ditinggalkan menjadi lambat untuk bertumbuh. Mayoritas wilayah di Jawa Tengah yang ditinggalkan termasuk ke dalam kawasan rural dengan guna lahan pertanian dan perkebunan. Penulis menemukan fakta bahwa sebagian lahan sawah merupakan milik warga yang tidak menetap di desanya sendiri. Pemilik lahan istilahnya “memasrahkan” sawah atau kebun miliknya untuk dikelola oleh tetangga atau saudaranya yang berada di desa, lalu hasil pertaniannya dibagi secara adil. Sistem pemanfaatan lahan pertanian semacam ini dapat disebut sewa lahan, atau dalam Bahasa Jawa dinamakan Dol Garapan/Dol Borongan. Tentunya, sistem seperti ini setidaknya masih bisa menyelamatkan wilayah pedesaan dari serbuan pemborong lahan karena lahan pertanian yang masih aktif digunakan. Yang jadi permasalahan, pedesaan mengalami kekurangan tenaga petani yang mengelola lahan-lahan tersebut sehingga menyebabkan pemilik lahan mendatangkan serombongan tenaga dari desa tetangga atau lebih jauh. Kedatangan para petani dari luar juga merupakan migrasi dalam waktu singkat, setelah selesai panen mereka akan kembali ke daerah asalnya. Lalu pihak Desa dimana lahan tersebut berada tidak mendapat apa-apa selain kondisi jalan yang semakin hancur dilewati mobil angkutan hasil pertanian, sedangkan pemasukan untuk pembangunan jalan sangat minim.
Sebenarnya dalam konteks pertanian, hal ini bisa menjadi solusi bagi perantau yang sudah buntu dalam mencari pekerjaan di luar kota untuk kembali ke desa dan menjadi petani. Namun, keterbatasan kemampuan pertanian juga menjadi masalah, dikarenakan para perantau yang jarang turun lahan sehingga pemilik lahan cenderung memilih mendatangkan petani dari luar yang lebih mumpuni. Belum lagi perkara gengsi untuk kembali bertani yang masih menyelimuti hati para pejuang rupiah jarak jauh ini, sementara pakaian bersih dari laundry tidak akan mampu ngrejekeni.


